Siaran Pers Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang
Zulkarnaini Petani Bidar Alam yang diputus bersalah mencuri di tanah sendiri dengan hukuman 5 Bulan Kurungan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menganggap putusan Majelis Hakim Pengadilan Koto Baru terhadap Zulkarnaini seorang petani Bidar Alam tidak mencerminkan keadilan. Sebab putusan hakim yang dijatuhkan pada Kamis 25 Januari 2024 mengesampingkan situasi konflik sosial dan pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan sebagai pelapor.
Majelis Hakim menyatakan Zulkarnaini bersalah dengan hukuman 5 bulan penjara yang dikurangi masa penahanan. Pasal yang digunakan yakni Pasal 107 Huruf d UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan junto 55 KUHP.
Menurut Pengacara LBH Padang Alfi Syukri, dakwaan dan tuntutan terhadap Zulkarnaini terlihat sangat dipaksakan oleh penuntut umum. Sebab pasal yang awalnya digunakan oleh Penuntut Umum adalah Pasal 363 KUHP tentang pencurian,namun terjadi perubahan setelah penuntut umum mendengar kesaksian dari Ahli Pidana. “Ahli pidana menyatakan, Pasal Pidana 363 harus membuktikan (mens rea) kondisi batin jahat, namun terdakwa yang meminta izin kepada Perusahaan dan kepolisian sebelum memanen memperlihatkan tidak adanya kondisi batin jahat. Sehingganya dengan tidak terpenuhinya pasal ini maka Penuntut Umum menggunakan Pasal 107 Huruf d UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan junto 55 KUHP,” kata Alfi.
“Kami sebagai penasihat hukum telah menerangkan bahwa perusahaan pelapor adalah pelanggar hukum serta tidak memiliki legalitas yang terbukti dalam persidangan. Mulai Hak Guna Usaha (HGU) yang tidak ada, izin lokasi tidak aktif dan telah mendapatkan Surat Peringatan (SP) ke-3 dari Pemerintah Kabupaten Solok Selatan. Selain itu kami juga menyampaikan kepada majelis hakim tentang putusan Mahkama Konstitusi nomor:31/PUU-V/2007 frasa setiap orang secara tidak sah dalam UU Nomor 39 Tahun 2014 tidak berlaku bagi anggota masyarakat hukum adat (terdakwa). Namun semua itu dikesampingkan dan tidak menjadi bahan pertimbangan,” ujar Alfi.
Alfi Syukri melanjutkan, putusan yang dikeluarkan dengan mengesampingkan dalil-dalil pembelaan merupakan bentuk dari pelanggaran HAM. “Kami melihat dan merasakan apa yang dikatakan oleh Clarence Darrow benar-benar terjadi. Darrow menyebutkan bahwa tidak ada yang namanya keadilan, di dalam atau diluar persidangan,” ucapnya.
“Putusan yang telah dikeluarkan oleh hakim sebagai bentuk Pengadilan sudah takluk oleh kriminalitas yang dilakukan oleh perusahaan dan tidak memiliki perspektif berkeadilan dengan mempertimbangkan bagaimana peristiwa bisa terjadi serta hubungan keperdataan masyarakat antara dengan PT. RAP,” katanya.
Putusan ini menurut Alfi akan membuat semakin buruk citra pengadilan di tengah masyarakat. Sebab sebagaimana yang disampaikan Pakar Sosiologi Konflik Universita Andalas Profesor Afrizal bahwa banyak dari masyarakat tidak memilih jalur penyelesaian melalui hukum atau pengadilan, karena tidak yakin akan memberikan keadilan.
Kronologi Kasus
Zulkarnaini merupakan pembela HAM di sektor lingkungan hidup yang bekerja sebagai petani, serta menggantungkan hidup pada tanah yang saat ini berkonflik dengan Perusahaan Ranah Andalas Plantation (RAP) yang sebelumnya telah dituntut 8 bulan oleh Jaksa Penuntut Umum Negeri Solok Selatan atas dugaan Pencurian di Lahan Kebun Kelapa sawit dengan pemberatan.
Peristiwa ini bermula dari adanya perjanjian yang terjadi antara Ninik mamak, Tokoh masyarakat, dan para pemilik lahan dengan PT RAP tahun 2007. Dalam proses pembangunan kebun kelapa sawit di Bidar Alam menggunakan skema kemitraan antara pemilik lahan yang diwakili ninik mamak dengan perusahaan dan melakukan bagi hasil 40% untuk pemilik lahan dan 60% bagi perusahaan. Hanya saja lebih dari sebelas (11) tahun perusahaan tidak pernah merealisasikan isi perjanjian sehingga terjadi demonstrasi dan tuntutan hak bertahun-tahun oleh masyarakat sehingga dibuatkan perjanjian kedua antara masyarakat dan perusahaan. Dalam perjanjian tersebut di tahun 2014, menyepakati bahwa dua tahun perusahaan tak mampu mengikuti standar perkebunan sesuai aturan berlaku maka tanah dikembalikan ke masyarakat.
Bukan hanya itu dalam proses perkebunan terlalu banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PT RAP yang di buktikan dengan adanya Surat Peringatan 1, Peringatan II di tahun 2011 sampai pada 1 Oktober 2020 Bupati Solok Selatan mengeluarkan surat pelarangan panen sawit kepada PT. RAP dan pemilik lahan. Hanya saja PT. RAP tetap melakukan panen sehingga mendorong masyarakat juga melakukan panen paksa karena situasi keterdesakan ekonomi sekaligus untuk memperjuangkan HAK yang selama ini tidak pernah didapatkan hasil perkebunan 40 persen sesuai perjanjian. Akibat adanya pemanen yang dilakukan oleh masyarakat Bidar Alam PT. RAP membawa proses ini ke ranah hukum dalam dugaan tindak pidana pencurian Tandan Buah Sawit yang dilakukan secara bersama-sama dengan laporan polisi nomor : LP/168/IX/2020/SPKT. Tanggal 14 September 2020.
Laporan polisi yang terjadi tahun 2020 tiba-tiba dilanjutkatkan pada bulan Agustus 2023 dengan alasan sebelumnya tertunda akibat situasi Covid-19 dan masuk ke ranah Pengadilan Koto Baru hari Kamis 9 November 2023. Setelah kurang lebih 3 bulan proses persidangan, pada tanggal 25 Desember Pengadilan Koto Baru membacakan Putusan yang menyatakan Zulkarnaini bersalah dengan menjatuhkan hukuman 5 bulan kurungan penjara dikurangi masa tahanan yang telah dijalani sejak tanggal 8 September 2023 dan wajib membayar biaya perkara sebanyak Rp. 2.500. (Dua Ribu Lima Ratus Rupiah).
Demikian siaran pers ini kami buat, atas bantuan dan publikasi rekan-rekan media kami ucapkan terimakasih.
Narahubung :
Alfi Syukri – Staf Advokasi/Pengacara Publik LBH Padang : 0822.8789.8026