Energi sebagai sebuah prasyarat untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia telah dipersempit maknanya hanya sebatas listrik. Bahkan listrik sekalipun yang merupakan kebutuhan kini menjadi komoditas dagang, sehingga dari mana dan dengan cara apa listrik itu dihasilkan menjadi hal yang tidak penting lagi. Komodifikasi energi listrik ini menjadi salah satu penyebab utama krisis iklim, bahkan rakyat yang hidup di tempat-tempat dimana listrik dihasilkan harus hidup dalam krisis yang multidimensional. Krisis tersebut terjadi disepanjang mata rantai produksi listrik, seperti perampasan ruang hidup, pengerusakan hutan dan lahan, hilangnya biodiversitas, polusi, kemiskinan serta intimidasi dan kriminalisasi yang harus dihadapi oleh rakyat.
Eksploitasi alam untuk menghasilkan energi fosil bertanggung jawab atas polusi udara, asidifikasi dan perubahan iklim. Penggunaan tenaga air telah menenggelamkan perkampungan, dan menyisakan kemiskinan struktural masyarakat yang dikorbankan. Penggunaan biomassa berkontribusi pada gurunisasi dan kehilangan keanekaragaman hayati, serta budidaya tanaman energi yang justru meningkatkan emisi dan mengancam ketahanan pangan.
Berbagai dampak negatif dari komodifikasi energi menghasilkan banyak desakan, terutama dari masyarakat yang berhadapan langsung dengan krisis dampak energi kotor. Desakan ini dilakukan atas dasar ketidakadilan yang diterima untuk menghasilkan energi listrik yang diperuntukkan untuk menopang industrialisasi. Berbagai argumen dan kegentingan yang dikemukakan oleh masyarakat seakan tidak pernah cukup untuk perubahan mendasar kearah yang adil. Kehilangan yang dialami oleh masyarakat dan lingkungan, seolah-olah suatu kepatutan dan pengorbanan yang layak bagi pembangunan negara.
Krisis iklim yang menjadi dasar desakan transisi energi tak membuat para pemimpin mencari jalan yang lebih baik. Negara tetap memakai logika kontrainsurjensi dengan terus menghasilkan jalan-jalan sesat dan ekstraktif seperti perdagangan karbon dan produksi energi yang syarat ekstraktivisme untuk menyamarkan krisis yang telah dihasilkan, Para pendamba ektrakstivisme tak pernah berubah dan mencuci semuanya dengan label hijau. Salah satu model pembangkitan listrik yang diklaim sebagai energi bersih adalah panas bumi (Geothermal). Pemerintah Indonesia gencar merencanakan dan membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi terutama di Sumatera Barat. Pembangkit listrik tenaga panas bumi diklaim sebagai sumber energi terbarukan. dan minim emisi. Padahal, pemanfaatan energi panas bumi syarat akan konflik yang ditutup-tutupi dan dampak lingkungan yang dikecil-kecilkan.
Pembesaran konsumsi energi, khususnya tenaga listrik, ditentukan bukan oleh kebutuhan setempat, melainkan dipicu oleh percepatan tambang dan masyarakat sebagai konsumen diharuskan untuk mengkonsumsinya. Wilayahwilayah tambang panas Gunung Talang, Tandikat, dan Kerinci memikul risiko sosial dan ekologis dari moda konsumsi energi di tempat lain, bagian tak terpisahkan moda hidup perkotaan dan industri yang menghisap energi dan bahan dari luar dirinya dan tak terbatas hasrat pembesaran konsumsi energinya.
Perubahan kualitas lingkungan akibat eksploitasi fosil bawah tanah serta pelepasan emisi karbon dari industrialisasi mulai dipercakapkan oleh masyarakat dunia. Adanya kesadaran untuk melindungi bumi dari ancaman krisis iklim mengkristal dalam Paris Agreement (2015). Kesepakatan yang ditandatangani oleh 190 negara ini menyusun dan menyepakati aksi-aksi mitigasi dan adaptasi untuk dapat mencapai net zero emission, agar dapat menahan suhu bumi dibawah 1,5 derajat. Berbagai desakan dari masyarakat sipil serta masyarakat yang berhadapan langsung dengan krisis mendesak untuk segera berhenti mengkonsumsi bahan bakar fosil, melakukan transisi dengan adil dansegera, didukung dengan pembiayaan bagi negara-negara berkembang dan bukan dengan solusi palsu yang terusmenerus disampaikan. Namun hingga KTT Iklim ke 28 di Dubai, tidak ada keputusan yang progresif yang dihasilkan. Tidak ada keputusan untuk berhenti (phase out), bahkan tidak ada keputusan mengurangi (phase down) untuk penggunaan bahan bakar fosil.
Disisi lain, desakan internasional untuk melakukan transisi energi dari bahan bakar fosil menyebabkan investasi dan pendanaan disektor energi non-fosil yang diklaim bersih dan berkelanjutan, yang pada fakta dilapangan tetap melakukan praktek perampasan tanah, perusakan hutan serta biodiversitas, intimidasi dan kriminalisasi. Transisi energi yang diimplementasikan oleh para pemimpin negara saat ini, baik negara utara maupun negara selatan, seperti hanya bentuk solusi palsu yang justru akan semakin memperparah krisis iklim dan krisis multidimensi di kehidupan rakyat.
Dengan semakin gencarnya Nasional dan Pemerintah Daerah untuk membangun tambang panas bumi dan pembangkitnya di Sumatera Barat, penting untuk masyarakat sipil untuk aktif memperbincangkan dan menyebarluaskan fakta lapangan serta mengawal transisi energi yang sedang dicanangkan agar tidak menimbulkan masalah-masalah baru atau cenderung menjadi solusi palsu. Oleh karena itu WALHI Sumatera Barat bersama Labor Sosiologi Universitas Negeri Padang akan mengadakan Diseminasi dan Diskusi Publik yang bertema “Transisi Energi yang Adil, atau Solusi Palsu ?” yang akan diadakan di Ruang Sidang Senat Universitas Negeri Padang hari Selasa, 30 Januari 2024 pada pukul 13.00 WIB - Selesai.
Berikut adalah hasil Riset yang WALHI Sumatera Barat lakukan :
Menelisik Tambang Panas Bumi - Ambisi, Realita dan Dampak Tambang Panas Bumi di Sumatera Barat