Babak Baru Kriminalisasi masyarakat Bidar Alam

Siaran Pers Bersama LBH Padang dan Walhi Sumatera Barat


Padang, 5 September 2023


Konflik PT. Ranah Andalas Plantation (RAP) dengan masyarakat Nagari Bidar Alam dan Masyarakat Nagari Ranah Pantai Cermin Kabupaten Solok Selatan kembali berujung kepada penetapan 6 orang tersangka masyarakat oleh Polres Solok Selatan. Pemanggilan enam orang masyarakat di Bidar alam ini berawal dari laporan polisi Nomor : LP/168/IX/2020/SPKT terkait tindak pidana pencurian pada tanggal 14 September 2020 yang dilaporkan pihak perusahaan.


Permasalahan ini bermula dari konflik agraria yang masih belum terselesaikan di Kabupaten Solok Selatan. Padahal PT. RAP yang diduga melaporkan masyarakat tidak lagi memiliki legalitas apapun. Hal ini diperkuat dengan Surat Keputusan Bupati Solok Selatan yang mencabut izin lokasi PT. RAP pada tertanggal 29 Juli 2008 yang lalu. Selain itu, PT. RAP juga tidak mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) di Nagari Bidar Alam dan Nagari Ranah Pantai Cermin. Awalnya PT. RAP hadir akibat perjanjian antara ninik mamak dengan PT. RAP akan adanya pembagian hasil 60% – 40% semenjak dibangunnya perkebunan tapi hingga pada saat ini masyarakat tidak mendapatkan haknya sama sekali dari PT. RAP. Puluhan tahun masyarakat menunggu itikad baik dari PT.RAP untuk memberikan perolehan bagi hasil 40 % dari hasil panen tak kunjung jua didapatkan.


Dampak dari kesepakatan 60%-40% tersebut, PT. RAP sudah ingkar janji dan membohongi masyarakat. Alhasil pertengahan tahun 2020 masyarakat melakukan reklaiming haknya (mengambil alih tanahnya) dengan melakukan panen di tanahnya masing-masing. selain itu, tidak ada juga kejelasan penyelesaian konflik oleh Bupati Solok Selatan hingga saat ini. Pilihan melakukan reklaiming hak oleh masyarakat didasari situasi kebutuhan ekonomi yang dulunya dijanji-janjikan perusahaan akan sejahtera.


Namun, Polres Solok Selatan malah menanggapi reklaiming hak atas tanah tersebut dengan Penetapan tersangka dalam dugaan tindak pidana pencurian. Kondisi ini tentunya semakin memperuncing konflik di Nagari Bidar Alam dan Nagari Ranah Pantai Cermin. Menurut Diki Rafiqi, Koordinator Divisi Advokasi LBH Padang “ini jelas salah satu upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh kepolisian yang dapat membungkam perjuangan hak yang dilakukan masyarakat. Kriminalisasi ini juga memberikan rasa takut kepada masyarakat agar perusahaan dapat kembali menguasai lahan masyarakat.” Jika kepolisian membaca perjanjian-perjanjian antara masyarakat dan PT. RAP yang bermitra membangun kebun sawit maka dapat ditarik kesimpulan kebun sawit milik masyarakat dan perusahaan. Lalu bagaimana mungkin seorang yang memiliki dituduh mencuri di atas tanahnya sendiri dan pohon sawit yang dimodali 40% oleh masyarakat pemilik lahan. Jangan berpikir kebun hanya dibangun oleh perusahaan karena mekanisme yang dibangun antara perusahaan dan masyarakat adalah kemitraan serta bagi hasil tegasnya.


Sebelum Polres Solok Selatan menerima pelaporan PT. RAP mestinya kepolisian mempertanyakan legalitas perusahaan. Dimana perusahaan sudah tidak memiliki legalitas yang sah lagi disana. Selain itu PT.RAP tidak hanya merugikan masyarakat namun juga merugikan negara dengan tidak membayar pajak. Seharusnya negara menindak hal seperti ini bukan malah menghukum orang yang sudah lama di curangi. Selain itu, persoalan PT. RAP dan masyarakat pemilik lahan bukan persoalan pidana tapi persoalan perdata. Polres Solok Selatan sudah offside dengan tidak bisa memisahkan persoalan ini dengan baik. Pertanyaannya ada apa dengan Polres Solok Selatan?.


Lebih lanjut, Tommy, (Kepala dep. advokasi Lingkungan hidup) WALHI Sumatera Barat menyatakan bahwa Aktivitas budidaya perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh PT RAP tanpa memiliki hak atas tanah dan perizinan berusaha adalah perbuatan yang tidak sah secara hukum. Sebab, Kegiatan usaha budidaya perkebunan dan/atau usaha pengolahan hasil perkebunan hanya dapat dapat dilakukan oleh perusahan perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan memenuhi perizinan berusaha terkait perkebunan dari pemerintah pusat (pasal 42 ayat (1).


Selanjutnya, pasal 55 UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang juga menegaskan norma yang melarang setiap orang (termasuk perusahaan ) secara tidak sah mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan (termasuk diatas tanah ulayat), memanen atau memungut hasil perkebunan.


Dengan tidak sahnya aktivitas mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan oleh PT RAP (tidak memiliki hak atas tanah dan tidak memiliki perizinan berusaha), maka PT RAP dapat dikenai pidana perkebunan yang diatur pada pasal 107 UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang menegaskan bahwa Setiap orang yang tidak sah mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan; mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai tanah masyarakat atau tanah hak ulayat masyarakat adat dengan maksud usaha perkebunan; melakukan penebangan tanaman dalam kawasan perkebunan; memanen atau memungut hasil perkebunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 55, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,- (empat miliar rupiah); ujarnya.


Atas situasi tersebut, LBH Padang dan WALHI Sumatera Barat menuntut: Mendesak Polresta Solok Selatan menghentikan Kriminalisasi kepada masyarakat Bidar Alam; Mendesak Bupati Solok Selatan cabut izin PT. RAP Polres Solok Selatan mengusut dugaan pidana PT. RAP diantaranya berkebun tanpa izin, penggelapan uang bagi hasil masyarakat dan tindak pidana perpajakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku


Narahubung:

Diki Rafiqi (087794462297)

Tommy Adam (081288202488).