Setiap tahun, 22 April di peringati sebagai hari bumi. Pada tanggal 22 April 2024 ini, peringatan hari bumi mengambil tema planet vs plastic. Tema ini, mencoba meneguhkan ikhtiar manusia dan mendesak pemimpin dan warga negara didunia, menebus dosa atas prilaku dan kebijakan yang merusak bumi dengan plastik. Sumber-sumber kehidupan telah di cemari plastik. Sungai, Danau, Laut dan Udara telah di cemari plastik. Plastik telah nyata menurunkan kualitas lingkungan dan memicu beragam persoalan kesehatan, mengancam keberlangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Untuk itu, WALHI Sumatera Barat menyerukan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Kabupaten – Kota : Kebijakan jangan merusak bumi, lingkungan jangan diabaikan.
Plastik meng-akumulasi krisis
Semua badan air (sungai, danau, laut) di Sumatera Barat dibebani plastik. Bahkan danau singkarak dan maninjau, masuk menjadi dua dari lima belas danau kritis yang menjadi prioritas untuk diselamatkan di Indonesia. Plastik (sampah) menjadi salah satu daftar masalah utama penyebab krisis kedua danau tersebut. Kegagalan kebijakan lingkungan di sektor pengelolaan sampah, hampir melumpuhkan Kota di Sumatera Barat. Seperti Kota Bukittingi dan Kota Payakumbuh. Ketika TPA Regional longsor dan over capacity , pemerintah panik, sampah bertebaran dimana-mana dan memicu beragam persoalan, diantaranya masalah sosial, kesehatan, lingkungan dan ekonomi. Pengunaan (sampah) plastik sekali pakai harus diakhiri. Lain itu, sampah harus dikelola dari sumber, jangan berfokus dihilir.
Impunitas dan Bencana Ekologis
Tahun 2024, diawali dengan beragam bencana ekologis dan bencana alam (Gunung Marapi). Banjir dan longsor (Maret) di dua belas Kabupaten Kota di Sumatera Barat merupakan bencana ekologis. Bencana ekologis merupakan bencana akibat : akumulasi krisis ekologis karena tidak-adilan dan salahnya sistem pengurusan alam, akibatnya hancur pranata kehidupan masyarakat. Kita harus membedakan bencana ekologis dengan bencana alam. Pemahaman kebencanaan ini penting, agar penanganan bencana tepat dan kebijakan pemulihan berfokus pada akar bencana, bukan hanya terjebak di hilir bencana. Jika bencana ekologis dimaknai sebagai bencana alam, maka kebijakan penanganan bencana, tidak akan pernah memulihkan lingkungan dan ekosistemnya, tetapi akan terus melanggengkan kejahatan lingkungan (impunitas). Akan lebih parah, jika pemangku kebijakan berkompromi dan terus melindungi kejahatan lingkungan beserta pelakunya.
Investasi Haram dan Bencana Ekologis
Menteri PUPR saat meninjau bencana ekologis di Pesisir Selatan meng-analisis, penyebab banjir dan longsor di Sumatera Barat akibat illegal logging. Analisis ini, kemudian diverifikasi kebenarannya oleh Gubernur Provinsi Sumatera Barat. Dalam beberapa media, Gubernur menyebut illegal logging dan illegal mining, serta masalah tata ruang, menjadi pemicu bencana. April 2024, semua Kabupaten-Kota di Sumatera Barat masih dalam status ancaman bencana ekologis. Sementara itu, pemerintah masih berdinamika soal tanggung jawab dan terkesan, mencoba menutupi akar bencana ekologis. Satu diantaranya, soal tambang di Aia Dingin, Kabupaten Solok. Bencana Ekologis berupa longsor dan banjir di jalan nasional telah menempatkan pengguna jalan serta warga sekitar berada setiap detik dalam ancaman. Namun, kebijakan pemerintah, meninjau lokasi – mendokumentasikan dan seakan hanya memberi sanksi administrasi, menghentikan sementara tambang.
Hari ini (21 April 2024), akun instagram Humas Provinsi Sumatera Barat memposting : upaya Pemprov Sumbar untuk penanganan masalah tambang yang tidak sesuai ketentuan, jalan nasional rusak, dan lalu lintas yang terganggu di kawasan Aia Dingin Kabupaten Solok. Postingan tersebut menyebut : hasil pemeriksaan inspektur tambang ESDM menemukan beberapa aspek perizinan tidak dipenuhi perusahaan. Akun tersebut juga menyebut kesepakatan dari rapat koordinasi adalah : Pertama, izin tambang tiga perusahaan dibekukan hingga kelengkapan perizinan teknisnya terpenuhi. Kedua, Pemprov Sumbar dan Pemkab Solok berkomitmen akan segera menertibkan aktivitas tambang liar karena berbahaya bagi lingkungan. Secara geologis, kawasan tersebut juga bagian dari patahan caesar semangko sumatera sehingga membuat tekstur tanah rapuh, mudah tergerus air, dan sangat beresiko untuk aktivitas penambangan tanpa kajian teknis (tambag liar). Ketiga, untuk perbaikan ruas jalan nasional yang terdampak telah mengusulkan kepada pihak Kementerian PUPR melalui Balai Pelaksana Jalan Nasional Sumbar dan akan segera di anggarkan perbaikannya.
WALHI Sumatera Barat berpandangan : Respon dan kebijakan dalam rapat koordinasi yang di posting akun instagram Humas Provinsi Sumatera Barat : Menyamarkan akar bencana ekologis, melanggengkan dan menyembunyikan kejahatan lingkungan, kompromi perizinan, tidak berspektif mitigasi bencana, serta menarik tanggungjawab pelaku investasi yang merusak lingkungan menjadi tanggung jawab rakyat (perbaikan jalan mengunakan APBN-APBD), bahkan TIDAK ADA satupun kebijakan yang diambil dalam rapat koordinasi untuk menagih secara tegas tanggung jawab pelaku tambang, baik yang illegal ataupun yang tidak lengkap perizinannya. Kebijakan ini jelas melindungi pelaku. Padahal, UU Minerba, UU Lingkungan Hidup dan UU Kebencanaan, cukup menjadi dasar untuk menyeret pelaku ke ranah hukum dan menghukum mereka untuk memulihkan fungsi lingkungan hidup dengan cara : hentikan permanen sumber pencemar dan perusak lingkungan (tambang), remediasi, rehabilitasi dan restorasi lingkungan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa (No. 22 tahun 2011) yang mengkualifikasi : Tambang yang merusak dan mencemari lingkungan, tidak berizin, malanggar tata ruang, tidak memperhatikan tataguna lahan, menimbulkan kerusakan ekosistem, menyebabkan polusi, mengancam kesehatan masyarakat dan mendorong pemiskinan masyarakat hukumnya HARAM. Fatwa ini, mengkualifikasi investasi tambang demikian tidak hanya sekadar illegal, tetapi juga Investasi HARAM.
Dalam UU Kebencanaan , eksplorasi dan eksploitasi tambang masuk pada kategori kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana. Olehnya (pasal 75, 76 dan 79), jika orang atau perusahaan karena kelalaian melakukan pembangunan beresiko tinggi (baca tambang), yang tidak dilengkapi analisis risiko bencana yang mengakibatkan terjadinya bencana, dipidana dengan penjara paling singkat tiga tahun atau paling lama enam tahun dan denda paling sedikit tiga ratus juta rupiah dan paling banyak dua milar rupiah. Bila itu disengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun atau paling lama delapan tahun dan denda paling sedikit dua miliar atau paling banyak empat miliar rupiah.
Jika, (kelalaian itu) mengakibatkan kerugian harta benda atau barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singat enam tahun atau paling lama delapan tahun dan denda paling sedikit enam ratus juta rupiah atau paling banyak tiga miliar rupiah. Bila itu disengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat delapan tahun atau paling lama dua belas tahun dan denda paling sedikit tiga miliar atau paling banyak enam miliar rupiah.
Jika, (kelalaian itu) mengakibatkan matinya orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat delapan tahun atau paling lama sepuluh tahun dan denda paling sedikit tiga miliar atau paling banyak enam miliar rupiah. Bila itu disengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua belas tahun atau paling lama lima belas tahun dan denda paling sedikit enam milar atau paling banyak dua belas rupiah.
Jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat diterapkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan tiga kali dari pidana denda yang disebut diatas. Serta dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan pencabutan statis badan hukum.
Sementara itu, pada UU Minerba (pasal 158) ditegaskan setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin di pidana dengan dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak seratus miliar rupiah.
Jika kita lihat pada UU Lingkungan Hidup (pasal 54), tegas disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup, yang dilakukan dengan tahapan : penghentian sumber pencemar dan pembersihan unsur pencemar, remediasi, rehabilitasi, restorasi dan/atau cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mencemari dan merusak lingkungan (pasal 69). Jika setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki perizinan berusaha atau persetujuan pemerintah pusat, atau pemerintah daerah, yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan pidana denda paling sedikit satu miliar rupiah dan paling banyak tiga miliar rupiah (pasal 109).
REKOMENDASI
Untuk itu, kami WALHI Sumatera Barat merekomendasikan :
1. Pemerintah jangan penakut dan harus bertindak tegas : evaluasi dan cabut izin tambang yang tidak memiliki analisis risiko bencana, merusak dan mencemari lingkungan dan mengancam keselamatan dan kesehatan, serta meningkatkan risiko bencana ekologis;
2. Tagih tanggung jawab pelaku (pengurus dan korporasi) untuk memulihkan fungsi lingkungan hidup dengan cara namun tidak terbatas pada penghentian aktifitas (sumber perusak dan pencemar) secara permanen, remediasi, rehabilitasi dan restorasi terhadap lingkungan;
3. Melakukan penegakkan hukum atas kejahatan yang dilakukan pelaku, baik dalam pendekatan pidana lingkungan, pidana pertambangan dan pidana kebencanaan;
4. Tidak melakukan dan/atau menghentikan kebijakan yang berpotensi melanggengkan kejahatan lingkungan, kejahatan tambang dan kejahatan kebencanaan;
5. Melaksanakan kebijakan pembangunan Sumatera Barat yang berkeadilan sosial-ekologis dan memitigasi bencana dengan pendekatan ekosentrisme; Demikian rekomendasi kami, untuk keadilan sosial ekologis dan keadilan antar generasi.
Eksekutif Daerah WALHI Sumatera Barat