Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Barat menghimbau aparat kepolisian sebagai penegak hukum agar tidak memihak kepada sekelompok orang dalam konflik agraria perkebunan kelapa sawit yang terjadi di Nagari Air Bangis.
Nagari Air Bangis merupakan salah satu wilayah di Pasaman Barat dengan konflik agraria yang hingga kini masih dalam upaya penyelesaian dari stakeholder terkait. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa faktanya di lapangan masih terdapat berbagai upaya yang dilakukan agar masyarakat menyerahkan lahan garapan mereka kepada pemerintah dengan dalih berada dalam kawasan hutan produksi. Dalam beberapa kondisi, upaya tersebut dilakukan dengan memberikan ancaman UU Pidana kehutanan “berkebun dalam kawasan hutan” dan/atau intimidasi melalui kehadiran aparat.
Semenjak tanggal 10 Februari 2023, berdasarkan informasi di lapangan, BRIMOB POLDA Sumatera Barat terpantau mendirikan tenda barak dan tinggal di Jorong Pigogah Patibubur, Nagari Air Bangis, Kecamatan Sungai beremas, pasaman Barat.
Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sumatera Barat sangat menyayangkan kehadiran BRIMOB di nagari Air Bangis. Beliau menyampaikan bahwa tidak ada kondisi urgent yang mengharuskan BRIMOB berada bahkan tinggal di Nagari Air bangis. Jika dilihat dari 5 tugas pokok BRIMOB, tidak ada satupun kondisi masyarakat di nagari Air bangis yang dapat dikatakan sedang terancam oleh pihak lain dan/atau sedang terjadi kejahatan beresiko tinggi. Kehadiran aparat kepolisian memberikan kesan bahwa kepolisian memihak kepada sekelompok orang, padahal aparat kepolisian bertugas sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, bukan sekelompok atau sebagian orang. Selain itu, kehadiran BRIMOB di nagari Air bangis terkesan bahwa POLDA Sumatera Barat tidak menghormati kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh salah satu institusi Negara (KOMNAS HAM RI Perwakilan Sumbar) tentang penjajakan penyelesaian permasalahan konflik agraria di Nagari Air bangis dilakukan secara Musyawarah.
Merujuk pada hasil pertemuan yang diselenggarakan oleh Komnas HAM perwakilan provinsi Sumatera Barat pada tanggal 19 Agustus 2022 tentang penjajakan penyelesaian permasalahan konflik agraria di Nagari Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas kabupaten Pasaman Barat mendapati beberapa poin penting yang seharusnya menjadi acuan untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi.
Dalam pertemuan tersebut disepakati (1) Semua stakeholders (Dinas Kehutanan, Polda Sumatera Barat, Polres Pasaman Barat, WALHI Sumatera Barat, Komnas HAM Perwakilan Sumatera Barat sepakat menjajaki penyelesaian konflik dengan pendekatan dialogis secara Restorative Justice di Nagari Air Bangis, Kecamatan Sungai Beremas Kabupaten Pasaman Barat. (2) Stakeholders mendukung solusi perhutanan sosial yang menjadi penyelesaian permasalahan di Nagari Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas Kabupaten Pasaman Barat.
Berdasarkan keputusan-keputusan itu WALHI Sumatera Barat menuntut ;
1. Menarik seluruh aparat yang ada di air bangis.
2. Aparat yang bertugas di Nagari Air Bangis tidak memihak kelompok manapun.
3. Menghormati kesepakatan Komnas HAM terkait konflik agraria perkebunan kelapa sawit di Nagari Air Bangis.
4. Menghentikan segala bentuk penyelesaian kasus secara pidana yang menyangkut masyarakat di Nagari Air Bangis.
WALHI Sumatera Barat berharap kepada seluruh Stakeholder terkait dalam penyelesaian kasus ini dapat menghormati kesepakatan Komnas HAM ini, agar semua proses yang dilakukan berjalan dengan lancar dan dapat menemui titik terang dan di selesaikan dengan baik serta Komnas HAM segera mengambil tindakan yang konkrit atas pelanggaran kesepakatan. Dan mestinya Polda diperiksa atas pelanggaran ini oleh Kapolri
Manager Kajian Hukum WALHI Sumatera Barat juga menyampaikan Program perhutanan sosial seharusnya menjadi solusi dari tumpang tindihnya wilayah kelola masyarakat dan kawasan hutan, peningkatan ekonomi sekitaran kawasan hutan dan perbaikan ekosistem. Bukan malah menyulut konflik dan mengancam kehidupan masyarakat yang hidup berdampingan dengan kawasan hutan.
KSU Air Bangis Semesta yang tak diakui masyarakat sebagai pemegang izin HTR meminta Kepolisian untuk mengamankan daerah izinnya, yang dilapangan malah banyak menebar ketakutan, pemaksaan meninggalkan lahan dan ancaman kriminalisasi kepada masyarakat yang bergantung hidup di sekitaran kawasan hutan tersebut.
Tanpa prinsip keadilan, sebaiknya dilupakan mimpi pemerintah membangun kesejahteraan melalui perhutanan sosial. Tanpa proses yang adil dan partisipatif masyarakat sekitaran kawasan hutan, perhutanan sosial hanya berhasil di atas kertas, tetapi gagal di tingkat realitas.