Rakyat Dikriminalisasi, Korporasi Di Ampuni – Di Fasilitasi

Salam Adil dan Lestari


Pada hari rabu, 05 Juli 2023 Pengadilan Negeri Pasaman Barat menggelar sidang perdana dugaan tindak pidana kehutanan dengan nomor perkara : PDM-06/SPEM/Eku.2/05/2023. ini adalah rangkaian dari kriminalisasi rakyat. Lebih ironi dari itu, sesungguhnya persidangan ini ingin mengkonfirmasi bahwa petani yang mengelola lahan mereka secara turun temurun di Nagari Air Bangis dicoba dibunuh perlahan oleh pemerintah, dengan menangkap dan memenjarakan siapa saja yang membeli hasil pertanian-perkebunan mereka. Para petani di Air Bangis, setiap hari dihantui rasa takut, tidak hanya soal mengakses lahan sebagai sumber kehidupan, tetapi juga saat menjual hasil dari lahan yang mereka kelola tersebut, pemerintah memandang rakyatnya sendiri (petani) sebagai pelaku kejahatan kehutanan. Lahan-lahan perkebunan yang dikelola petani, diklaim pemerintah sebagai kawasan hutan produksi, atas nama hutan, yang ditafsirkan hanya sebagai soal kayu dan non kayu, rakyat kemudian dianggap hama yang harus dibasmi.


Febrian Teguh Julianto, sehari-hari dipanggil dengan nama teguh, adalah seorang pemuda yang membeli hasil perkebunan rakyat berupa sawit. Sawit yang dibeli teguh, berasal dari kebun-kebun masyarakat yang berlokasi di kampung mereka. Bahkan, sawit tersebut dimuat dekat rumah-rumah masyarakat. Bagi teguh dan para petani, kebun-kebun masyarakat bukan kawasan hutan, tetapi tanah yang telah mereka warisi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi. Mereka tidak pernah tahu, bahwa tanah dan kampung mereka, secara diam-diam ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan. Dengan penetapan sepihak itu, Pemerintah melalui Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Pasaman Barat Arye Yanuardi, SH bersemangat melekatkan status terdakwa (ini telah dimulai oleh institusi POLRI dengan kewenangan penyelidikan-penyidikan), kemudian mendakwa teguh sebagai pelaku kejahatan kehutanan. Ironi, semangat penegakan hukum yang tajam kepada rakyat sendiri. Teguh, bukan target utama. Targetnya adalah petani yang hidup dari tanah, targetnya adalah tanah petani. Dengan memenjarakan teguh, maka siapa saja yang berani membeli hasil kebun petani akan bernasib sama, penjara. Selanjutnya, hasil tani tidak ada yang akan membeli, berikutnya petani akan meninggalkan tanah mereka. Tanah petani, pada akhirnya akan dikuasai oligarki.



Pemerintah sendiri merilis bahwa saat ini, 3,3 juta ha sawit berada didalam kawasan hutan dan tidak memiliki perizinan berusaha di bidang kehutanan. Angka 3,3 juta itu, dikuasai oleh korporasi dan sebagiannya sawit rakyat. Apakah pemerintah bersemangat memenjarakan korporasi yang merusak hutan dengan menanam sawit di ratusan bahkan ribuan hektar hutan. TIDAK. Justru, korporasi banyak yang diampuni. Prinsip Ultimum Remedium diberlakukan bagi korporasi. Kenapa, kepada petani, yang hanya menguasai lahan dua hingga lima hektar, prinsip itu tidak berlaku? kenapa, mereka mesti disandra dan dipenjara? ini adalah watak dan politik ekonomi kolonial yang dilanjutkan.


Secara umum pertanahan di Indonesia (contohnya di Air Bangis), khsusunya dibidang kehutanan, masih menghidupkan asas domein verklering (bahkan plus), yakni, sebidang tanah yang tidak dapat dibuktikan hak kepemilikannya adalah tanah negara. Sehingga dalam kawasan hutan, sebagian besar penduduk dan Nagari yang secara turun temurun telah hidup didalam kawasan hutan (yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah) tidak mendapat pengakuan dan perlindungan akan hak-haknya.


Akar masalah tanah (lahan pertanian masyarakat di Air Bangis) yang berada didalam kawasan hutan (ditetapkan sepihak pemerintah), bersumber pada sejarah politik kebijakan atas kawasan hutan warisan pemerintah kolonial hindia belanda pada abad ke-18, yang dikenal dengan "modern school of scientific forestry" yang banyak mengabaikan dimensi sosial atau aspek manusia didalam kawasan hutan. Dalam doktrin ilmiah, hutan dianggap sebagai wilayah tidak berpenghuni dan hutan terdiri dari dua hal saja, kayu dan non kayu. Hal ini menjadi akar masalah sistem pengetahuan dan pelanggaran HAM bagi masyarakat didalam dan sekitar kawasan hutan yang terjadi berulang. Apakah watak dan prilaku jajahan ini akan dilanjutkan?


Dalam data BPS (2020), disebutkan bahwa dari 1.159 jumlah nagari di Sumatera Barat, sebanyak 950 Nagari (81,97%) berada didalam dan sekitar kawasan hutan, hanya 209 Nagari yang berada diluar kawasan hutan (18,03%). Gubernur Sumatera Barat juga pernah pernyataannya dimuat media, menyatakan : 4 juta penduduk sumatera barat berada didalam dan sekitar kawasan hutan. Apakah, semuanya akan dipenjara?


Sekali lagi, ini bukan sekedar sidang pidana biasa. Ini bagian dari skenario OLIGARKI merampas tanah sebagai sumber kehidupan petani. Lahan petani yang disoalkan hari ini (termasuk memenjarakan orang yang membeli hasil pertanian-perkebunan dari lahan tersebut, ex : teguh), sedang diskenariokan untuk kawasan industri. Lagi, rakyat di kriminalisasi, korporasi di fasilitasi. Hakim pemeriksa perkara, harus progresif dan jangan terjebak dalam skenario kejahatan HAM ini. Hakim harus mampu melihat hidden agenda, yang akan merusak keadilan itu sendiri. In bukan soal hutan dan non hutan, ini perampasan lahan petani (land grabbing). Kita harus ingat, rakyat adalah pemegang kedaulatan, di atas hukum adalah kemanusiaan.

#Podcast (13)

Sementara itu Abdul Gani, S.H dan Andi Desmon, S.H, M.H selaku TIM Penasehat Hukum (PH) terdakwa atas nama Febrian Teguh Julianto menyampaikan keberatan atas dakwaan yang dibacakan oleh Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Pasaman Barat. Selaku TIM Penasehat Hukum (PH) terdakwa, kami akan melakukan Eksepsi atas dakwaan tersebut. Adapun poin-poin yang disampaikan pada eksepsi nanti akan kami sampaikan pada persidangan selanjutnya.