Pelanggaran Terhadap Tata Ruang di Kawasan Lembah Anai Harus Segera ditindak Secara Tegas oleh Pemerintah

Kawasan Lembah Anai Merupakan hulu dari DAS Anai yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air guna menjaga kelestarian fungsi DAS Anai. Namun beberapa tahun terakhir Pemerintah telah gagal dalam Mengelola kawasan ini , kegagalan ini ditandai dengan menjamurnya aktivitas pemanfaatan/ budidaya yang tidak sesuai peruntukannya. Salah satunya adalah pemanfaatan sempadan untuk pembangunan hotel serta bangunan Cafe.

 

Sebelumnya Kementerian ATR BPN telah melakukan survey lapangan dan menyatakan bahwa 2 objek tersebut melanggar aturan tata ruang. Selanjutnya Pada Tanggal 17 April 2024 Kementerian ATR/BPN melakukan Rapat Pembahasan Kasus dalam rangka Penertiban Pemanfaatan Ruang di Kawasan Lembah Anai, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.

 

Kedua lokasi kegiatan Pembangunan Rest Area dan Hotel PT HSH dan Xakapa Café dinilai melanggar pada bidang SDA karena berada di kawasan sempadan sungai sesuai dengan Peraturan Menteri PUPR No 28/2015 dan tidak memiliki rekomendasi/izin dari sektor terkait serta melanggar Perda Tata Ruang Kabupaten Tanah Datar. Berikut analisa Hukum sector Lingkungan dan HAM yang diduga dilanggar:

 

A. Pemanfaatan Ruang Yang Tidak Sesuai Aturan Adalah Pelanggaran Hukum.

 

 

Menelaah surat-surat peringatan ke-2 dan ke-3 yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar (terlampir) terhadap Xakapa Cafe dan Resto dan beberapa pelaku Usaha lainnya yaitu Amiruddin ( Yayasan Darul Hikmah) serta Ali Usman Syuib dengan nomor surat : 600.3.3/1048/ PUPRP/2023 tertanggal 13 Desember 2003, Surat Nomor : 600.3.3/1047/PUPRP/2023 tertanggal tertanggal 13 Desember 2023, Surat Nomor : 600.0.0/1074/PUPRP/2023 tertanggal 22 Desember 2023 ditemukan dugaan pelanggaran atas Perda Kabupaten Tanah Datar Nomor 5 Tahun 2022 tentang Rencana Tata ruang Wilayah Tahun 2022-2042 oleh Xakapa Cafe dan Resto, Amirudin dan Ali Usman Syuib.

 

Adapun pelanggaran yang ditemukan oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar adalah bahwa bangunan dan lokasi usaha ketiga pelaku usaha tersebut terindentifikasi tidak mentaati RTRW Kabupaten Tanah Datar karena belum memenuhi ketentuan pemanfaatan ruang dan persyaratan teknis lainnya sesuai peraturan perundang-undangan. Ketidak-sesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota Tanah Datar dengan kondisi penggunaan lahan oleh Xacapa Café dan Resto akan mengakibatkan berubahnya pemanfaatan fungsi lahan dan penataan ruang. Tepatnya pelanggaran terhadap Pasal.

 

Namun fakta bahwa ketiga pihak Xakapa café dan Resto, Amirudin dan Ali Usman Syuib yang sampai saat ini belum memberikan respon atau tanggapan atas surat peringatan yang sudah tiga kali dikeluarkan oleh Pemkab Tanah Datar adalah bentuk pembangkangan terhadap hukum serta tidak adanya penghormatan terhadap penyelanggara pemerintah serta tidak adanya itikat baik untuk bekerjasama dalam melakukan pengendalian pemanfaatan ruang dan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

 

Padahal berdasarkan, Pasal 17 angka 29 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 UU Tata Ruang No 26 Tahun 2007 dan penjelasannya dijelaskan bahwa setiap orang dalam pemanfaatan ruang berkewajiban untuk : 1. Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan, artinya kewajiban setiap orang untuk memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang. 2. Memanfaatkan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, artinya Kewajiban setiap orang untuk melaksanakan pemanfaatan ruang sesuai dengan fungsi ruang. 3. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, artinya Kewajiban setiap orang untuk memenuhi ketentuan amplop ruang dan kualitas ruang.

 

Terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang maka bagi mereka yang melanggar dapat dikenakan sanksi administrasi sebagaimana yang atur dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 17 angka 30 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 62 UU Tata Ruang, kemudian Pasal 63 UU Tata Ruang yang mengatur bentuk jenis sanksi administrasi berupa :

1. peringatan tertulis

2. penghentian sementara kegiatan

3. penghentian sementara pelayanan umum

4. penutupan lokasi

5. pencabutan izin

6. pembatalan izin

7. pembongkaran bangunan

8. pemulihan fungsi ruang; dan/atau

9. denda administratif.

 

Kemudian jika pemerintah ingin lebih serius menindak pelaku usaha yang melanggar aturan tata ruang ini, terlebih lagi terhadap pelaku usaha yang tidak mengindahkan peringatan-perigatan yang sudah diberikan maka pemerintah bisa menempuh jalur hukum dengan membuat laporan dugaan tindak pidananya dengan menggunakan Pasal 17 angka 32 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 69 ayat (1) UU Tata Ruang yang mengatur bahwa Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana penjara paling lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak Rp1 miliar”.

 

Jika tindak pidana tersebut mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp2,5 miliar. Jika mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp8 miliar (vide Pasal 17 angka 32 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 69 ayat (2) dan (3) UU Tata Ruang)

 

 

Kemudian jerat pidana bagi setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai rencana tata ruang yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang adalah pidana penjara paling lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak Rp1 miliar. (Vide Pasal 17 angka 33 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 70 ayat (1) UU Tata Ruang).

 

Bila tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 1/3 kali dari pidana denda yang ditetapkan. Selain itu, korporasi juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan perizinan berusaha dan/atau pencabutan status badan hukum. ( Vide Pasal 17 angka 37 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 74 ayat (2) UU Tata Ruang).

 

B. Melanggar Aturan terkait Pendirian Bangunan Gedung dalam UU Cipta Kerja.

 

 

Dari penelusuran WALHI Sumatera Barat dan PBHI Sumatera Barat, tidak satupun ditemukan adanya persetujuan Pendirian bangunan gedung atas 2 kegiatan ini (hotel dan Café Xakapa), sehingga hal ini berpotensi melanggaran aturan terkait pendirian bangunan dan gedung dalam UU Cipta Kerja. Bahwa terdapat sanksi pidana dan denda apabila tidak dipenuhinya ketentuan dalam UU Bangunan Gedung jo. UU Cipta Kerja. Jika pemilik bangunan gedung dan/atau pengguna bangunan gedung tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, maka ia berpotensi dipidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak 10% dari nilai bangunan gedung jika karenanya mengakibatkan kerugian harta benda orang lain. Kemudian, jika mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain yang mengakibatkan cacat seumur hidup, pelaku berpotensi dipidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak 15% dari nilai bangunan gedung. Lalu, jika mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, pemilik bangunan gedung dan/atau pengguna bangunan gedung dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak 20% dari nilai bangunan gedung.

 

Pembangunan Gedung hotel dan Café ini jelas akan berpotensi menimbulkan adanya korban jiwa. Karena lokasi tersebut merupakan daerah rawan bencana banjir dan longsor.

 

C. Ketidaktegasan Pemerintah Adalah Bentuk Pengabaian Terhadap Hak Atas Lingkungan Hidup.

 

Fakta tentang pembangkangan yang dilakukan oleh Xakapa Cafe dan Resto, Amirudin serta Ali Usman Syuib terhadap peringatan-peringatan yang sudah dilayangkan selama ini oleh Pemkab Tanah Datar telah mengkorfimasi bahwa pengendalian dan penertiban aturan tata ruang di Sumatera Barat masih tumpul. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka akan berdampak serius tidak hanya kepada penurunan integritas dan wibawa pemerintahan sumatera barat tetapi juga akan mengancam keberlangsungan lingkungan hidup seperti tidak adanya keharmonisan antara lingkungan alam dengan lingkungan buatan, tidak adanya ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan serta tidak adanya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negarif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

 

D. Dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah sudah seharusnya melakukan Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup atas aktifitas pembangunan yang dilakukan oleh pelaku usaha karena Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk :

a.  melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;

c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;

d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;

e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;

f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;

g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;

h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;

i.  mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan

j. mengantisipasi isu lingkungan global sebagaimana yang telah diatur dalam Undang- Undang No 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup.

 

Jika pengendalian pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan ini tidak segera dilakukan maka, banyak hak-hak dasar manusia yang akan hilang olehnya, seperti hak atas air yang bersih dan sehat ( Undang-Undang No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dalam Pasal 8), hak atas perlindungan dari resiko bencana, hak untuk bebas dari ancaman resiko bencana. Mengapa hak-hak tersebut menjadi terancam?? Karena sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa Pembangunan Rest Area dan Hotel PT HSH dan Xakapa Café berdiri di wilayah sempadan sungai dan DAS Anai. Sudah barang tentu, setiap limbah yang dihasilkan dari aktifitas cafe tersebut akan berpotensi mencemari air sungai di sepanjang lembah anai dan akan merusak ekosistem yang ada di sekitar sungai dan DAS Anai.

 

Oleh karena itu, sudah saatnya Pemerintah untuk tegas dan serius dalam melakukan penindakan terhadap pelaku-pelaku usaha yang sudah sangat jelas melanggar aturan hukum serta sudah seharusnya juga Pemerintah untuk selektif dalam memberikan dan mengeluarkan setiap jenis izin kepada pelaku usaha/ perusahaan yang hendak membangun di lokasi yang berdampingan atau berada di kawasan hutan lindung , yaitu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Contoh: hutan lindung, kawasan resapan air, kawasan cagar alam, dan sebagainya.