"Sampah Menjadi Peluang Usaha"
Ternyata keseriusan dalam mengelola sampah bisa mendatangkan nilai tambah. Untuk bisa membuat sampah menjadi sesuatu yang bernilai dan produktif, saat ini WALHI Sumbar di kelurahan Bukit Apit Puhun Kota Bukittinggi bekerja sama dengan kelompok budidaya yang dikelola masyarakat.
Teguh mengatakan proses memaksimalkan produktifitas rumah kompos dan maggot telah mereka bangun. "Proses sudah kita bangun, dari penguatan kapasitas masyarakat, pelatihan budidaya, sudah kita datangkan ahli-ahlinya ke sini, dan masyarakat kini sudah pada tahap implementasi," ujarnya.
Sekarang di RW 4 Kelurahan Bukit Apit Puhun telah ada rumah kompos dan kelompok budidaya maggot Sejati. Tak hanya itu, warga yang tergabung dalam kelompok budidaya tersebut juga sedang melakukan pengembangan pada pertanian perkotaan dan perikanan budidaya darat dengan sistem bioflok.
"Jadi dari itu semua nantinya bisa meningkatkan perekonomian masyarakat. Contoh succes story sudah banyak sekali. Dari budidaya maggot, bank sampah, membuat pengomposan. Bahkan sampai sekala besar," kata Teguh.
Hanya saja, untuk menciptakan sesuatu yang berkelanjutan, kelompok masyarakat yang akan melakukan pengolahan sampah dengan metode 3R (Reduce, Reuse, Recycle) perlu dibekali. Baik dari pengetahuan budidaya, pemanfaatan sampah, pembuatan media budidaya, sampai manajemen kelembagaan.
Selain lewat pelatihan dan sosialisasi, WALHI Sumbar dan GIZ bersama pengurus Rumah Maggot Sejati dan perwakilan masyarakat RW 4 Bukit Apit Puhun juga melakukan studi banding ke tiga lokasi pada bukan November kemarin. Hal tersebut dilakukan untuk belajar bagaimana mengelola sampah menjadi sesuatu yang menghasilkan.
Pertama ke MinaGot Sumbar. Disana masyarakat belajar bagaimana mengelola sampah organik menjadi sumber daya berharga untuk pertanian.
"Kemudian, kami belajar dari Ibu Yusra di Lokasi Praktik Budidaya Ikan Lele dan Maggot, mendapati keterkaitan yang erat antara budidaya ikan dan penggunaan maggot sebagai pakan yang bernutrisi tinggi," ucap Teguh menjelaskan kunjungan mereka.
Lokasi terakhir adalah Dangau Inspirasi yang dikelola mantan Kepala Dinas Pertanian Pemprov Sumbar, Ir. Djoni. Disana masyarakat dapat melihat bahwa bertani di perkotaan bukanlah hal yang mustahil.
Teguh mengatakan, Disana mereka memahami bagaimana limbah organik dapat menjadi pemicu untuk produktivitas tanaman, menciptakan ekosistem yang sehat dan menghidupkan kembali kawasan perkotaan.
Tak kalah penting, ketiga lokasi tersebut memberikan contoh bagiamana mengelola dan mengolah sampah menjadi suatu peluang usaha yang menghasilkan.
Syahrulizami, salah seorang warga Bukt Apit Puhun selepas studi banding tersebut mengatakan, bahwa ia sangat tertarik dan termotivasi untuk melakukan hal serupa. Selain menghasilkan, mengelola sampah baginya juga suatu ikhtiar untuk lingkungan dan mengisi waktu luang kala libur dari rutinitas harian.
"Kalau saya punya lahan atau perkarangan yang cukup luas, saya akan melakukan hal yang serupa seperti di MinaGot, tempat Ibu Yusra, dan Dangau Inspirasi," ucapnya, Rabu (22/11/2023).
Di rumah kompos dan maggot sejati RW 4 Bukit Apit Puhun sendiri, kegiatan budidaya sudah cukup efektif dilakukan. Ketua Kelompok Budidaya Sejati, Gazali (44), mengatakan saat ini mereka telah bisa memproduksi 50-60 kilogram maggot setiap bulannya.
Saat ini per kilogramnya, maggot bisa dijual dengan harga Rp. 8000, rupiah. Hal itu diperuntukkan utamanya untuk pakan ternak dan unggas. Seperti ayam, itik, burung kicau, bahkan pakan ikan lele atau ikan hias seperti koi dan arwana.
Budidaya Maggot jelas Pak Tuah (panggilan akrab Gazali), sangat bergantung pada persedian pakan. Dalam hal ini pakan yang dimaksud adalah sampah organik rumah tangga.
"Untuk saat ini dengan terlaksananya program WALHI dan adanya pemilihan sampah warga, kami telah bisa mengumpulkan sampah warga per 2 harinya sekitar 50-40 kilogram," katanya.
Sebab ketersediaan sampah organik yang dipilah belum maksimal, produksi maggot di kelompok budidaya sejati masih dalam proses berkembang.
Pak Tuah sendiri optimis, kedepannya masyarakat Bukit Apit Puhun akan lebih banyak dan lebih tinggi tingkat kesadarannya memilah sampah. "Barangkali akan ada lagi pembudidaya maggot lainnya di kelurahan ini," ucapnya.
Ia mengatakan, awalnya sebagian masyarakat belum ada yang mengerti tentang apa itu maggot. "Jadi setelah kami beri pemahaman, disitu masyarakat mulai mengerti apa keuntungan dan apa dampak positif yang ditimbulkan dari budidaya Maggot," ujar Pak Tuah.
Sekarang di kelompok yang dipimpinnya, suda ada tujuh orang yang bergerak secara aktif. Pak Tuah dan warga lainnya di kelompok budidaya Sejati berkomitmen akan melaksanakan pembudidayaan Maggot ini secara berkelanjutan. "Terkhususnya di RW 4 dan kedepannya bisa mencakupi kelurahan," tegasnya.
Mengingat kebelakang kata Pak Tuah, awalnya karena sudah terlalu banyaknya sampah organik yang tidak terkelola dengan baik dan menimbulkan polusi untuk lingkungan yang berdampak untuk kesehatan.
Dari situ mereka berinisiatif, dengan adanya budidaya maggot, sekurang-kurangnya dilingkungan sekitar, sampah organik dapur bisa dikelola dengan baik.
"Sampai saat ini kami cukup bersyukur dengan adanya bantuan dari Dinas Lingkungan Hidup soal rumah maggot. Serta dengan adanya program WALHI kami juga terbantu, dari situlah ibuk ibuk bisa berperan aktif untuk bercocok tanam," tuturnya.
"Integrasi Pengelolaan Sampah dan Budidaya Pertanian di Perkotaan"
Dikelolanya sampah mulai dari pemilahan organik dan anorganik, hingga mendaur ulangnya menjadi pupuk kompos dan larva maggot, dapat menciptakan suatu ekosistem budidaya berkelanjutan.
Kelompok budidaya Sejati di kelurahan Bukit Apit Puhun sendiri memanfaatkan hasil pengolahan tersebut untuk memulai pertanian di perkotaan dan membudidayakan ikan dengan sistem bioflok.
Pak Tuah menjelaskan, mulanya dia sebagai operator dari rumah kompos akan mengambil sampah yang telah dipilah warga dari setiap rumah-rumah penduduk.
Sampah anorganik warga nantinya akan dikirim ke truk pengangkut untuk dibawa ke TPAS atau dipilah kembali oleh pengepul. Sedangkan sampah organik yang terdiri dari sampah dapur dan tanaman, akan diolah menjadi kompos dan maggot di kelompok budidaya Sejati.
Saat ini ditempat mereka telah tersedia fasilitas seperti hangar, germor, dan pencacah organik untuk membuat pupuk kompos. Begitupun dengan budidaya maggot, mereka telah memiliki hangar, biopond, dan rumah lalat BSF (lalat tentara hitam). Semuanya dalam kondisi baik untuk melakukan budidaya.
Untuk maggot, prosesnya kata Pak Tuah, dimulai dengan pengambilan telur. Jikalau tidak tersedia, maka budidaya bisa dimulai dengan lalat indukan.
"Pertama pupa dimasukkan ke dalam waring. Lalu setelah empat hari ia akan menjadi lalat, dan kemudian dua hari setelah keluar dari cangkangnya, dia akan bertelur. Kami sendiri dengan menggunakan media kayu. Jadi di sela-sela kayu nanti ia akan bertelur," ucap Pak Tuah menerangkan.
Setelah itu, sekitar tiga atau empat hari telur akan menetas, kemudian langsung menuju ke makanan dari sampah organik rumah tangga. Telur yang baru menetas itu disebut bayi maggot.
Perlu waktu seminggu atau delapan hari sampai bayi maggot itu dapat dipindahkan dari media penetasan ke biopond.
"Tinggal kita proses pembesaran ke dalam biophone kurang lebih sepuluh hari. Setelah maggot berumur 18 hari, itu sudah bisa panen untuk pakan ternak dan ikan," ujarnya.
Pak Tuah sendiri telah melakukan budidaya maggot setahun belakangan. Lewat pengalaman itu jelasnya, untuk 20 gram telur maggot saja, setidaknya membutuhkan sekitar 80 kilogram sampah organik.
Hal itu ia rasa sangat efektif, melihat jumlah sampah yang dihasilkan tiap orang per harinya di Bukittinggi kurang lebih sebanyak satu kilogram. Artinya, lewat pengelolaan sampah dan budidaya maggot skala kecil saja, sudah berefek cukup besar dalam mengatasi masalah sampah.
Kemudian, tak hanya mengurangi jumlah sampah, maggot yang telah dipanen Pak Tuah dan kawan-kawan jadikan sebagai pengganti pakan ternak.
"Sebelumnya kita untuk pakan ayam saja bisa mengeluarkan biaya pakan yang cukup besar. Kalau kita membudidayakan maggot otomatis pakan ternak yang biasanya kita beli lebih mahal, sekarang bisa kita atasi dengan budidaya maggot," tuturnya.
Ibuk-ibuk disini bisa membiasakan memakai pupuk organik dari kasgot (sisa residu maggot). Menghindari pemakaian pupuk kimia. Baik itu juga untuk ternak ayam, ikan, atau lahan pertanian perkotaan," lanjut Pak Tuah.
Kelompok budidaya Bukit Apun saat ini telah menyiapkan lahan pertanian perkotaan dengan 15 bedengan yang akan ditanami sayur-sayuran.
Mereka juga membuat rumah pembibitan di bekas lahan yang sebelumnya tidak produktif. Lokasinya berdekatan dengan rumah kompos dan maggot Sejati.
Pak Tuah mengatakan, ia dan anggota kelompok budidaya lainnya berkomitmen untuk melakukan pertanian organik. Kompos yang telah mereka hasilkan kurang lebih 500 kilogram akan diaplikasikan pada bedengan yang telah dibuat.
Selain itu, kompos dan maggot dapat diintegrasikan dalam sistem bioflok sebagai sumber nutrisi tambahan untuk ikan. Pemberian maggot dapat meningkatkan kandungan protein dalam pakan ikan, sementara kompos dapat membantu memelihara kualitas air dan memberikan nutrisi bagi bakteri bioflok.
Penerapan limbah organik ini ke dalam sistem bioflok dapat membantu meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan meminimalkan dampak negatif pada lingkungan.
Integrasi ini tidak hanya menciptakan siklus tertutup dalam pengelolaan sampah, tetapi juga mendukung pertanian dan budidaya ikan yang berkelanjutan.
Penerapan praktik-praktik ini di tingkat urban dapat membantu mengurangi dampak negatif pada lingkungan dan meningkatkan ketahanan pangan lokal.
"Saya optimis untuk kedepannya, khususnya kelurahan Bukit Apit Puhun. Saya akan mencoba menggerakkan dan mengkampanyekan terutama dalam pengelolaan sampah dan budidaya maggot untuk mengurangi masalah sampah.
Dengan tonase sampah yang kita buang setiap harinya, bisa berkurang, dengan terkelolanya sampah di 24 kelurahan di Bukittinggi," ujar Pak Tuah dengan semangat.
Tantangan dan Harapan Dalam Pengelolaan Sampah Kedepan
Selain budaya di masyarakat, salah satu tantangan utama dalam pengelolaan sampah adalah, kurangnya infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai. Sistem pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang sampah perlu untuk ditingkatkan secara terus menerus.
Saat ini di Kota Bukittinggi belum ada peraturan atau kebijakan mengenai operasional Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R).
Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3, dan Peningkatan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup Kota Bukittinggi, Asrar Fernando, mengatakan kedepannya akan ada rencana pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST).
"Kota Bukittinggi telah berencana melakukan pengelolaan sampah dengan membuat TPST di tahun 2024. Direncanakan kita di dinas Lingkungan Hidup akan ada TPST yang rencananya akan berada di belakang kantor," tutur Asrar, Selasa (21/11/2023).
Selain itu, ia mengatakan TPST tersebut direncanakan akan menggunakan teknologi TPS3R. Asrar sendiri menyampaikan apresiasi kepada WALHI Sumbar dengan menjadikan kota Bukittinggi sebagai pilot projek dalam program pengurangan sampah.
"Jadi kedepan kami sangat berharap apa-apa yang telah dilakukan WALHI ini dapat menjadi contoh bagi kelurahan-kelurahan lain di Kota Bukittinggi. Sehingga dapat menjadikan Kota Bukittinggi yang bersih dengan melakukan pengelolaan sampah dengan baik," ucapnya.
Sebab ungkap Asrar, baik dari sisi efisiensi anggaran maupun prospek jangka panjang, jauh lebih baik dengan adanya kelompok budidaya di masyarakat. Hal ini juga dapat menjadi penghasilan tambahan bagi masyarakat Kota Bukittinggi.
Ia menghimbau masyarakat Kota Bukittinggi untuk melakukan pemilihan sampah mulai dari rumah. Pemerintah Kota Bukittinggi kata Asrar siap membantu masyarakat dalam pembinaan dan sosialisasi. Sehingga sampah-sampah dapat bernilai dan berharga bagi masyarakat.
Kita mengetahui, sampah bukan hanya menjadi isu estetika, tetapi juga merupakan sumber berbagai masalah lingkungan yang perlu ditangani secara serius. Sampah yang berserakan dapat mencemari sungai-sungai dan saluran air, mengakibatkan kerusakan ekosistem air dan berdampak negatif pada flora dan fauna setempat.
WALHI Sumbar ungkap Teguh, ikut konsen melihat masalah ini terutama terhadap peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Sampah organik yang membusuk di tempat pembuangan sampah menghasilkan metana, gas rumah kaca yang memiliki potensi pemanasan global lebih besar dibanding karbon dioksida.
"Ini menjadi ancaman nyata terhadap upaya mitigasi perubahan iklim. Terlebih saat ini dampak global warming itu makin terasa. Peningkatan suhu, dan dampak-dampak bagi kesehatan manusia," kata Teguh menjelaskan.
Intinya lanjut Teguh, kalau masalah sampah dibiarkan, itu semua bisa merambah ke berbagai aspek kehidupan. Termasuk ke dalam masalah sosial, kesehatan, budaya, ekonomi, bahkan pertahanan.
Ia mengatakan, semua stakeholder harus berpikir bagaimana masalah sampah harus dicarikan soslusinya secara bersama-sama.
"WALHI pada tahap ini sudah melakukan contoh-contoh kecil. Seperti di RW 4 ini. Bahwa sampah harus dikelola mulai dari tingkat rumah tangga pertama-tama. Ada pemilihan, kemudian sampahnya dikelola dan diolah, bisa jadi maggot, kompos, dan lain-lain. Ada turunannya, maggot bisa menjadi pakan ternak, unggas, ikan, dan banyak hal lainnya. Masalah selesai, lingkungan baik, ekonomi bisa meningkat," tutur Teguh.
Lalu terakhir, ia mengajak kepada seluruh masyarakat meningkatkan kampanye lingkungan. Baik dari mulut ke mulut atau via internet. Sehingga banyak orang makin sadar akan pentingnya pengelolaan sampah.